Kemerdekaan Desa

Ribuan kilometer dari Ibu Kota Nusantara (IKN), di daerah saya, Pinrang, Sulawesi Selatan, badan hilir sungai Salo Saddang yang menghidupi ribuan masyarakat desa dikeruk untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kota yang bahkan mereka tak pernah kenal. Material pasir itu dikirim ke kota ‘masa depan’ IKN. Masyarakat resah, protes, dan unjuk rasa, untuk memberitahu bahwa pasir dan sungai itu adalah juga tentang masa depan mereka. Masyarakat desa setiap saat dihantui banjir dan rusaknya sawah atau kebun, tetapi banyak dari kita hanya membayangkan ‘calon kota tanpa banjir’ yang jauh di sana.
Jauh sebelum itu, di desa-desa pesisir Takalar, pasir laut tempat bergantung ribuan nelayan, dikeruk untuk memenuhi kebutuhan reklamasi pantai Kota Makassar. Ketika itu Kota Makassar membangun proyek reklamasi dengan dalih untuk kepentingan masa depan, seperti antisipasi abrasi dan perubahan iklim. Masyarakat desa protes, berunjuk rasa, karena pasir dan laut adalah juga tentang masa depan mereka. Namun, kita sudah tahu akhir dari suara-suara mereka saat ini.
Situasi desa-desa di Pinrang dan Takalar juga dirasakan oleh banyak desa di tanah air. Meminjam pertanyaan Kusumaningrum D (2025), “Mengapa kita merusak desa/pulau yang hijau untuk mewujudkan ‘green’ cities?”. Kita bisa juga bertanya, mengapa kita menghabiskan triliunan rupiah untuk membangun ‘kota di dalam hutan’, sementara pada saat yang sama desa-desa yang sudah ratusan tahun di hutan didera masalah?
Di balik pertanyaan-pertanyaan itu, ada hal yang lebih besar, yakni tentang kemerdekaan desa dan bagaimana bentuk partisipasi masyarakat desa dihargai. Secara formal, negara mengakui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa, tetapi proyek-proyek yang mendapat protes warga desa hampir pasti tidak pernah diusulkan oleh mereka. Desa-desa sering tidak berdaya menghadapi hal-hal semacam itu. Meski sudah dipahami bahwa tidak mungkin semua aspirasi dapat dijalankan, tetapi kemerdekaan desa dalam deliberasi dan pengambilan keputusan patut menjadi bagian dari koreksi.
Selengkapnya di Kompas.id.
Penulis: Fitrawan Umar, Ketua Umum Ikatan Perencana Desa (IPD) Indonesia