Membangun Keseimbangan, Strategi Inklusif untuk Mengatasi Ketimpangan Wilayah di Pulau Jawa

Pulau Jawa, sebagai jantung ekonomi Indonesia, menyimpan dinamika yang kompleks dalam pergerakan sosial dan ekonomi. Menurut penelitian terbaru oleh Wardana dan Muta'ali (2025), pertumbuhan pesat yang terjadi di pulau ini tidak merata, dengan adanya fenomena ketimpangan wilayah yang signifikan, khususnya antara Jawa bagian Utara dan Selatan. Data menunjukkan bahwa dari 119 kabupaten dan kota di Pulau Jawa, sebanyak 31 tercatat memiliki tingkat perkembangan tinggi, sementara 52 lainnya masih tergolong rendah. Ketimpangan ini tidak hanya terlihat dalam aspek ekonomi, tetapi juga mencakup dimensi sosial, infrastruktur, dan lingkungan yang saling berinteraksi.
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang pesat, terdapat perbedaan mencolok antara wilayah utara dan selatan Pulau Jawa. Wilayah utara, termasuk Jakarta dan Surabaya, menjadi pusat metropolitan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dan infrastruktur yang baik. Sebaliknya, wilayah selatan, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah, mengalami stagnasi dan ketertinggalan. Menurut data BPS (2022), DKI Jakarta menyumbang 57,92% dari total kekayaan ekonomi nasional, dengan pertumbuhan yang terfokus pada sektor industri dan jasa. Namun, Kabupaten-kabupaten di selatan, seperti Kabupaten Lebak, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Tulungagung dan Blitar, masih terjebak dalam kondisi ekonomi yang sulit dengan akses terhadap layanan publik yang terbatas (Wardana & Muta'ali, 2025).
Urbanisasi yang tinggi, yang mencapai 62,63% di Pulau Jawa, telah menciptakan megaregion seperti Jabodetabek dan Gerbangkertosusilo, yang berfungsi sebagai hub pertumbuhan ekonomi. Namun, fenomena ini juga menciptakan ketergantungan yang kuat pada pusat-pusat metropolitan, meninggalkan daerah-daerah di pinggir dengan akses yang minim terhadap peluang ekonomi. Ketimpangan ini semakin terlihat dari indikator sosial dan ekonomi. Di DKI Jakarta, misalnya, tingkat Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) mencapai angka yang sangat baik, sementara kabupaten lainnya, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, masih berjuang dengan masalah kemiskinan yang tinggi dan ketersediaan infrastruktur yang minim.
Dalam analisis yang dilakukan oleh Hudalah et al. (2020), variasi dalam perkembangan wilayah menunjukkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan seperti Jakarta dan Surabaya menarik sumber daya, investasi, dan tenaga kerja, sedangkan kabupaten di selatan terbelakang. Pembangunan yang tidak merata ini melahirkan dua kelas wilayah---wilayah maju dan tertinggal---yang saling berjauhan. Kota Surabaya, sebagai contoh, memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,13%, sedangkan Kabupaten Bondowoso di Jawa Timur mengalami pertumbuhan yang sangat lambat dengan sektor perekonomian yang stagnan (Wardana & Muta'ali, 2025).
Kondisi ini memerlukan respons kebijakan yang tepat untuk mendorong pembangunan yang lebih merata. Perlu ada upaya kolaboratif dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat dan daerah, untuk menciptakan strategi pembangunan yang inklusif. Peningkatan aksesibilitas infrastruktur transportasi antara wilayah metropolitan dan daerah tertinggal adalah langkah yang sangat penting. Proyek pembangunan jalan, bandara, dan sistem transportasi publik yang seharusnya telah direncanakan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) perlu diprioritaskan untuk memberikan akses yang lebih baik ke daerah pinggiran.
Selanjutnya, fokus pada pengembangan pendidikan dan pelatihan juga sangat penting. Peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah tertinggal melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan akan mendorong pertumbuhan yang lebih merata. Program dukungan terhadap industri lokal juga dapat membantu menciptakan lapangan kerja yang lebih baik untuk masyarakat. Ini sejalan dengan rekomendasi dari Adisasmitha (dalam Jacob & Hasan, 2016), yang menekankan pentingnya diversifikasi dalam strategi pembangunan wilayah untuk memperkecil kesenjangan.
Dalam konteks ini, pola ketimpangan antara sisi utara dan selatan Pulau Jawa terlihat nyata. Proyek-proyek besar seperti pembangunan infrastruktur jalan tol dan kereta cepat di utara tidak selalu diimbangi dengan pengembangan serupa di selatan. Hal ini menambah beban biaya bagi penduduk di daerah-daerah yang tidak terhubung dengan baik, menyebabkan isolasi ekonomi yang berkepanjangan. Penelitian oleh Hudalah et al. (2020) mengungkapkan bahwa ketika kebijakan pembangunan infrastruktur hanya difokuskan pada kawasan metropolitan, hal ini membawa dampak negatif bagi wilayah yang lebih terpencil, di mana akses terhadap peluang ekonomi sangat dibatasi.
Sebagai langkah strategis, saya merekomendasikan pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan yang lebih didasarkan pada model pembangunan terintegrasi dan merata. Kebijakan ini haruslah mempertimbangkan potensi lokal masing-masing daerah serta memfasilitasi pengembangan pendekatan berkelanjutan yang menghormati karakteristik wilayah yang berbeda-beda. Misalnya, dengan memfokuskan pada pengembangan permukiman berkelanjutan, industri kecil padat karya dan pertanian modern di daerah selatan dan mendukung industri kreatif serta pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pendekatan balanced growth strategy diperlukan. Pemerintah harus memastikan bahwa trickling down effect dapat tercapai agar wilayah dengan klasifikasi rendah dapat mulai mengakses peluang yang ada di wilayah metropolitan. Kesadaran dan komitmen untuk menciptakan pembangunan yang lebih inklusif dan merata di Pulau Jawa sangat penting. Dengan cara ini, kita tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tetapi juga memastikan bahwa kesejahteraan masyarakat dapat merata di seluruh Pulau Jawa, baik di utara maupun selatan.
Dapat disimpulkan, fenomena ketimpangan wilayah di Pulau Jawa, terutama antara wilayah utara yang berkembang pesat dan selatan yang tertinggal, memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Pembangunan yang terarah dan inklusif, dengan dukungan terhadap kawasan yang masih terbelakang, akan mendorong pemerataan dan keberlanjutan di masa depan. Keseimbangan dalam pembangunan adalah langkah menuju keberlanjutan di masa depan, di mana semua warga negara dapat merasakan manfaat dari kemajuan yang ada.
Untuk membaca opini lengkapnya, kunjungi Kompasiana.